Rabu, 06 Maret 2013

Tokoh islam : uwais al qarni


Namanya Owais, ia dikenal sebagai Owais al-Qarni karena dia tinggal di kota yang disebut "Qarn" di Yaman. Sayidina Owais Qarni (Allah senang dengan dia) adalah orang yang sangat saleh dan mulia. Meskipun hidupnya tidak signifikan dari sudut pandang duniawi, ia terkenal dan dihormati di antara semua umat Islam, khususnya sufi, karena kesalehan-Nya, praktek Zuhd (iktiyar), serta cinta yang mendalam dan kasih sayang untuk Rasulullah Kekasih Allah . Dikatakan bahwa dia menghabiskan semua waktu dalam kesendirian, puasa, berjaga malam dan shalat (doa).
Dia telah memeluk Islam pada zaman Nabi Kekasih Allah SAW masih hidup. Dia secara alami memiliki keinginan yang sangat kuat untuk melihat Nabi tetapi karena ibunya sudah sangat tua dan dia membutuhkan perawatan terus-menerus dan perhatian, dia tidak bisa mengunjungi Kekasih Allah. Sebagai hadiah pelayanannya kepada ibunya, ia diperlakukan sebagai Sahabat oleh Nabi SAW meskipun ia tidak bisa melihat dia secara pribadi. Namanya masuk daftar Sahabat hanya karena niat yang kuat untuk melihat dan berjumpa Kekasih Allah.

Setelah sahabat bertanya kepada Nabi Kekasih: "Apakah Sayidina Owais Qarni pernah mengunjungi Anda ?? Nabi pun menjawab:?" Tidak, Dia tidak pernah melihat saya secara fisik, tetapi secara rohani ia bertemu dengan saya "tasawuf didasarkan pada. spiritual koneksi atau link yang antara Nabi Kekasih Allah & Sayidina Owais Qarni, dalam tasawuf bahwa hubungan rohani yang dikenal sebagai "Nisbat-e-Owaisnya".

Ketika Sayidina Owais Qarni Rahmatullahi 'alaih menerima khabar tentang Rasulullah SAW, bahwa ia telah kehilangan gigi dalam perang "Uhud", Sayidina Owais Qarni mencabut salah satu gigi sendiri (karena cintanya terhadap Rasulullah SAW). Ia lantas berpikir bahwa mencabut satu gigi tidak lah tepat, dia tidak tahu persis berapa gigi Rasulullah hilang, dan karena dia mencintai Rasulullah SAW lebih dari dia mencintai dirinya sendiri, dia mecabut semua giginya untuk memastikan bahwa ia telah kehilangan gigi yang sama seperti Sang Kekasih Nabi Muhammad SAW.

Selama hari-hari terakhirnya, Sang Kekasih Nabi (Rasulullah SAW) meminta Sayidina Umar dan Sayidina Ali (Rahmatullaahi 'alaihima) untuk mengambil kemejanya (Jubah Mubarak) untuk Sayidina Owais dan memintanya untuk berdoa untuk pengampunan pengikut beliau ( umat muslim). Alasan ini adalah untuk menunjukkan kedudukan yang sangat tinggi dari Sayidina Owais. Sayidina Umar dan Sayidina Ali bertanya kepada masyarakat tentang suatu daerah yang bernama Qarn. Satu orang datang ke depan dan memberitahu mereka bagaimana menemukan tempat itu. Mereka berangkat ke Qarn. Ketika mereka tiba, mereka meminta orang-orang memberitahukan di mana Owais itu. Penduduk desa memberitahu mereka, namun mereka sangat terkejut ketika ditunjukkan oleh penggembala unta yang tidak diketahui. Ketika Sayidina Umar dan Sayidina Ali Rahmatullaahi 'alaihima sampai padanya, mereka melihat Sayidina Owais melantunkan doa-doanya. Saat ia selesai shalat, ia berkata, "Ini adalah pertama kalinya ada orang yang melihat aku berdoa. Kedua sahabat ini lalu menyampaikan salam dari baginda Rasul dan menyampaikan pesan dari Rasulullah kepada Owais untuk berdoa untuk pengampunan dari pengikut Muhammad. ini dia. Setelah beberapa saat dia berkata, "Allah telah mengampuni pengikut Muhammad yang telah gugur sebanyak dari bulu domba dari suku-suku Rabia dan Mazhar. Lantas Mereka bertanya kepada Sayidina Owais, "Jika kamu sangat mencintai Muhammad, mengapa anda tidak mengunjungi dia lebih sering selama hidupnya?" Dia tidak menjawab, tapi bertanya apakah mereka (ummat Muhammad ) mengambil bagian rampasan dalam pertempuran Uhud? Dan jika demikian, sebab itulah gigi Muhammad tersesat di situ? Sayidina Umar sangat terkesan oleh orang sederhana ini dan meminta Sayidina Owais untuk berdoa baginya. Sayidina Owais menjawab, "Aku berdoa untuk pengampunan semua orang pada akhir setiap doa, Jika Anda menjaga iman Anda kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad, Anda akan menerima doa saya dalam kuburan Anda.."

Syaikh FARID AL-DIN Attar mengatakan kepada kita tentang beliau : "selama hidupnya di dunia ini, ia (Oways) bersembunyi dari semua dalam rangka untuk mengabdikan dirinya untuk ibadah dan ketaatan" 'Attar juga menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW telah menyatakan pada saat kematiannya yang jubahnya harus diberikan untuk Oways, seorang pria yang belum pernah bertemu dalam kehidupan ini. Ketika 'Umar Radi Allahu anhu mencari Uways selama tinggal di Kufah, ia bertanya tentang orang yang berasal dari Qarn dan mereka pun menjawab "ada satu orang seperti itu, tapi dia adalah seorang gila, orang bodoh yang karena kegilaannya tidak tinggal di antara nya orang-orang sebangsanya (...) Dia tidak berbaur dengan siapa pun dan tidak makan atau minum apa pun yang lain minum dan makan Dia tidak tahu kesedihan atau sukacita;. ketika orang lain tertawa, dia menangis, dan ketika mereka menangis, dia tertawa "

Banyak juga pengikutnya, Rasulullah SAW menyatakan: "Saya bisa mencium bau keindahan syurga dari tanah Yaman '". Pernyataan ini adalah referensi langsung tentang kebesaran spiritual Sayidina Owais. Nabi juga mengatakan: "Saya merasakan angin sejuk penuh rahmat dari Yaman". Mengenai hadits Rosuulullaah Shallallaahu alaihi Wasallam beliau berkata, "Banyak orang akan masuk surga melalui perantaraan seorang laki-laki tertentu dari Komunitas ku yaitu dari orang-orang dalam suku Rabi'ah dan Muhdar," AL-HASAN AL- Basri mengatakan: "Itu Owais al-Qarni."

Sayidina Umar Radiyallaahu 'anhu mengutip Nabi yang mengatakan "Oh Umar Dari Yaman seorang pria. Akan tiba yang namanya Owais dan dia memiliki tanda-tanda kusta di tubuhnya, ia merawat ibunya tua dan lemah.! Jika untuk apa pun, ia mengambil sumpah dalam nama Allah, Allah akan memenuhi sumpahnya Jika Anda dapat meminta darinya doa untuk pengampunan Anda sendiri, maka Anda harus melakukannya.. "

Sayidina Ibnu-Sa'ied (RadhiAllaahu 'anhu) mengutip bahwa Rasuulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam berkata: "Dalam ummatku (pengikut) ku , aku punya teman yang namanya Owais Al Qarni "

Uwais al-Qarni mengatakan, "Jauhkan mengawasi hatimu", "'Alaika biqolbik".

Uwais al-Qarni berkata, "Tersembunyi doa (al-doa dhahr fi al-ghayb) lebih baik daripada mengunjungi dan pertemuan," karena kemunafikan (riya) mungkin masuk dalam dua terakhir.

Do'a dari Owais al-Qarni:

"Ya Allah, Engkau telah menciptakan ku ketika aku tidak patut disebutkan; Dan Engkau sediakan untukku ketika aku tak punya apa-apa; aku berdosa , dan aku mengaku bersalah. Jika Engkau memaafkan ku, sungguh sama sekali tidak mengurangi kewibawaanMu; Dan jika Engkau menghukum ku, sungguh sama sekali tidak akan meningkatkan kekuasaan Mu. Jika tiada Engkau ma'afkan, Harus kemana lagi aku tuk bisa meminta maaf, kecuali PadaMu. Sungguh, Engkau yang Maha Pemurah hati bagi orang-orang yang menunjukkan belas kasihan. "

Moga bermanfa'at..Salaaman wahtirooman...
ALLAAHUMMA SHOLLI WASALLIM WABAARIK WAKARRIM WA ADDIM WA AN'IM 'ALAA SAYYIDINAA WAHABIIBINAA WASYAFII'INAA WAKARIIMINAA WAMAULAANAA MUHAMMADIN SHALLALLAAHU 'ALAIHI WASALLAM WA'ALAA AALIHII WASHHAABIHI WA AZWAAJIHII WADZURRIYYATIHI WARHAM 'ALAA SAYYIDINAA ABU 'AMAR OWAIS BIN HARB BIN AL MUROODHI AL QARNI WARDHO 'ANHU..

Biografi Syaikh Ibnu Athoillah As Sakandari


KELAHIRAN DAN KELUARGANYA PENGARANG KITAB AL-HIKAM YANG CUKUP POPULER DI NEGERI KITA INI ADALAHTAJUDDIN, ABU AL-FADL, AHMAD BIN MUHAMMAD BIN ABD AL-KARIM BIN ATHOILLAHAL-SAKANDARI AL-JUDZAMI AL-MALIKI AL-SYADZILI. IA BERASAL DARI BANGSA ARAB.NENEK MOYANGNYA BERASAL DARI JUDZAM YAITU SALAH SATU KABILAH KAHLAN YANGBERUJUNG PADA BANI YASTRIB BIN QOHTON, BANGSA ARAB YANG TERKENAL DENGAN ARABAL-ARIBAH. KOTA ISKANDARIAH MERUPAKAN KOTA KELAHIRAN SUFI BESAR INI.SUATU TEMPAT DI MANA KELUARGANYA TINGGAL DAN KAKEKNYA MENGAJAR. KENDATIPUNNAMANYA HINGGA KINI DEMIKIAN HARUM, NAMUN KAPAN SUFI AGUNG INI DILAHIRKANTIDAK ADA CATATAN YANG TEGAS. DENGAN MENELISIK JALAN HIDUPNYA DR. TAFTAZANIBISA MENENGARAI BAHWA IA DILAHIRKAN SEKITAR TAHUN 658 SAMPAI 679 H.

AYAHNYA TERMASUK SEMASA DENGAN SYAIKH ABU AL-HASAN AL-SYADILI -PENDIRITHARIQAH AL-SYADZILIYYAH-SEBAGAIMANA DICERITAKAN IBNU ATHOILLAH DALAM KITABNYALATHOIFUL MINAN AYAHKU BERCERITA KEPADAKU, SUATU KETIKA AKU MENGHADAPSYAIKH ABU AL-HASAN AL-SYADZILI, LALU AKU MENDENGAR BELIAU MENGATAKAN:“DEMI ALLAH,  KALIAN TELAH MENANYAI AKU TENTANG SUATU MASALAH YANG TIDAK AKUKETAHUI JAWABANNYA, LALU AKU TEMUKAN JAWABANNYA TERTULIS PADA PENA, TIKAR DAN DINDING.
KELUARGA IBNU ATHOILLAH ADALAH KELUARGA YANG TERDIDIK DALAM LINGKUNGAN AGAMA,KAKEK DARI JALUR NASAB AYAHNYA ADALAH SEORANG ULAMA FIQIH PADA MASANYA.TAJUDDIN REMAJA SUDAH BELAJAR PADA ULAMA TINGKAT TINGGI DI ISKANDARIAHSEPERTI AL-FAQIH NASIRUDDIN AL-MIMBAR AL-JUDZAMI. KOTA ISKANDARIAH PADAMASA IBNU ATHOILLAH MEMANG SALAH SATU KOTA ILMU DI SEMENANJUNG MESIR, KARENAISKANDARIAH BANYAK DIHIASI OLEH BANYAK ULAMA DALAM BIDANG FIQIH, HADITS,USUL, DAN ILMU-ILMU BAHASA ARAB, TENTU SAJA JUGA MEMUAT BANYAK TOKOH-TOKOHTASAWWUF DAN PARA AULIYA’SHOLIHIN. OLEH KARENA ITU TIDAK MENGHERANKAN BILA IBNU ATHOILLAH TUMBUH SEBAGAISEORANG FAQIH, SEBAGAIMANA HARAPAN DARI KAKEKNYA. NAMUN KEFAQIHANNYA TERUSBERLANJUT SAMPAI PADA TINGKATAN TASAWUF. HAL MANA MEMBUAT KAKEKNYA SECARA TERANG-TERANGAN TIDAK MENYUKAINYA.
IBNU ATHOILLAH MENCERITAKAN DALAM KITABNYA LATHOIFUL MINAN BAHWA KAKEKNYAADALAH SEORANG YANG TIDAK SETUJU DENGAN TASAWWUF, TAPI MEREKA SABAR AKANSERANGAN DARI KAKEKNYA. DI SINILAH GURU IBNU ATHOILLAH YAITU ABUL ABBASAL-MURSY MENGATAKAN: “KALAU ANAK DARI SEORANG ALIM FIQIH ISKANDARIAH (IBNUATHOILLAH) DATANG KE SINI, TOLONG BERITAHU AKU”, DAN KETIKA AKU DATANG,AL-MURSI MENGATAKAN: “MALAIKAT JIBRIL TELAH DATANG KEPADA NABI BERSAMADENGAN MALAIKAT PENJAGA GUNUNG KETIKA ORANG QURAISY TIDAK PERCAYA PADANABI. MALAIKAT PENJAGA GUNUNG LALU MENYALAMI NABI DAN MENGATAKAN: ” WAHAIMUHAMMAD.. KALAU ENGKAU MAU, MAKA AKU AKAN TIMPAKAN DUA GUNUNG PADAMEREKA”. DENGAN BIJAK NABI MENGATAKAN : ” TIDAK,, AKU MENGHARAP AGAR KELAKAKAN KELUAR ORANG-ORANG YANG BERTAUHID DAN TIDAK MUSYRIK DARI MEREKA”.BEGITU JUGA, KITA HARUS SABAR AKAN SIKAP KAKEK YANG ALIM FIQIH (KAKEK IBNU ATHOILLAH) DEMI ORANG YANG ALIM FIQIH INI.
PADA AKHIRNYA IBN ATHO’ILLAH MEMANG LEBIH TERKENAL SEBAGAI SEORANG SUFI BESAR.NAMUN MENARIK JUGA PERJALANAN HIDUPNYA, DARI DIDIKAN YANG MURNI FIQH SAMPAIBISA MEMADUKAN FIQH DAN TASAWUF. OLEH KARENA ITU BUKU-BUKU BIOGRAFI MENYEBUTKAN RIWAYAT HIDUP ATHOILLAH MENJADI TIGA MASA :
MASA PERTAMA
MASA INI DIMULAI KETIKA IA TINGGAL DI ISKANDARIAH SEBAGAI PENCARI ILMUAGAMA SEPERTI TAFSIR, HADITS, FIQIH, USUL, NAHWU DAN LAIN-LAIN DARI PARAALIM ULAMA DI ISKANDARIAH. PADA PERIODE ITU BELIAU TERPENGARUHPEMIKIRAN-PEMIKIRAN KAKEKNYA YANG MENGINGKARI PARA AHLI TASAWWUF KARENAKEFANATIKANNYA PADA ILMU FIQIH, DALAM HAL INI IBNU ATHOILLAH BERCERITA:“DULU AKU ADALAH TERMASUK ORANG YANG MENGINGKARI ABU AL-ABBAS AL-MURSI,YAITU SEBELUM AKU MENJADI MURID BELIAU”. PENDAPAT SAYA WAKTU ITU BAHWAYAANG ADA HANYA ULAMA AHLI DZAHIR, TAPI MEREKA (AHLI TASAWWUF) MENGKLAIMADANYA HAL-HAL YANG BESAR, SEMENTARA DZAHIR SYARIAT MENENTANGNYA.
MASA KEDUA
MASA INI MERUPAKAN MASA PALING PENTING DALAM KEHIDUPAN SANG GURU PEMBURUKEJERNIHAN HATI INI. MASA INI DIMULAI SEMENJAK IA BERTEMU DENGAN GURUNYA,ABU AL-ABBAS AL-MURSI, TAHUN 674 H, DAN BERAKHIR DENGAN KEPINDAHANNYA KEKAIRO. DALAM MASA INI SIRNALAH KEINGKARANNYA ULAMA’ TASAWWUF. KETIKABERTEMU DENGAN AL-MURSI, IA JATUH KAGUM DAN SIMPATI. AKHIRNYA IA MENGAMBILTHARIQAH LANGSUNG DARI GURUNYA INI.ADA CERITA MENARIK MENGAPA IA BERANJAK MEMILIH DUNIA TASAWUF INI. SUATUKETIKA IBN ATHO’ MENGALAMI GONCANGAN BATIN, JIWANYA TERTEKAN. DIABERTANYA-TANYA DALAM HATINYA : “APAKAH SEMESTINYA AKU MEMBENCI TASAWUF.APAKAH SUATU YANG BENAR KALAU AKU TIDAK MENYUKAI ABUL ABBAS AL-MURSI ?.SETELAH LAMA AKU MERENUNG, MENCERNA AKHIRNYA AKU BERANIKAN DIRIKU UNTUKMENDEKATNYA, MELIHAT SIAPA AL-MURSI SESUNGGUHNYA, APA YANG IA AJARKANSEJATINYA. KALAU MEMANG IA ORANG BAIK DAN BENAR MAKA SEMUANYA AKANKELIHATAN. KALAU TIDAK DEMIKIAN HALNYA BIARLAH INI MENJADI JALAN HIDUPKU YANG TIDAK BISA SEJALAN DENGAN TASAWUF.
LALU AKU DATANG KE MAJLISNYA. AKU MENDENGAR, MENYIMAK CERAMAHNYA DENGANTEKUN TENTANG MASALAH-MASALAH SYARA’. TENTANG KEWAJIBAN, KEUTAMAAN DANSEBAGAINYA. DI SINI JELAS SEMUA BAHWA TERNYAT AL-MURSI YANG KELAK MENJADIGURU SEJATIKU INI MENGAMBIL ILMU LANGSUNG DARI TUHAN. DAN SEGALA PUJI BAGIALLAH, DIA TELAH MENGHILANGKAN RASA BIMBANG YANG ADA DALAM HATIKU”.MAKA DEMIKIANLAH, KETIKA IA SUDAH MENCICIPI MANISNYA TASAWUF HATINYASEMAKIN TERTAMBAT UNTUK MASUK KE DALAM DAN LEBIH DALAM LAGI. SAMPAI-SAMPAIIA PUNYA DUGAAN TIDAK AKAN BISA MENJADI SEORANG SUFI SEJATI KECUALI DENGANMASUK KE DUNIA ITU SECARA TOTAL, MENGHABISKAN SELURUH WAKTUNYA UNTUK SANGGURU DAN MENINGALKAN AKTIVITAS LAIN. NAMUN DEMIKIAN IA TIDAK BERANIMEMUTUSKAN KEINGINANNYA ITU KECUALI SETELAH MENDAPATKAN IZIN DARI SANG GURU AL-MURSI.
DALAM HAL INI IBN ATHOILAH MENCERITAKAN : “AKU MENGHADAP GURUKU AL-MURSI,DAN DALAM HATIKU ADA KEINGINAN UNTUK MENINGGALKAN ILMU DZAHIR. BELUM SEMPATAKU MENGUTARAKAN APA YANG TERBERSIT DALAM HATIKU INI TIBA-TIBA BELIAUMENGATAKAN : “DI KOTA QOUS AKU MEMPUNYAI KAWAN NAMANYA IBNUNAASYI. DULUDIA ADALAH PENGAJAR DI QOUS DAN SEBAGAI WAKIL PENGUASA. DIA MERASAKANSEDIKIT MANISNYA TARIQAH KITA. KEMUDIAN IA MENGHADAPKU DAN BERKATA :“TUANKU, APAKAH SEBAIKNYA AKU MENINGGALKAN TUGASKU SEKARANG INI DANBERKHIDMAT SAJA PADA TUAN?”. AKU MEMANDANGNYA SEBENTAR KEMUDIAN AKU KATAKAN: “TIDAK DEMIKIAN ITU TARIQAH KITA. TETAPLAH DENGAN KEDUDUKAN YANG SUDAH DITENTUKAN ALLAH PADAMU. APA YANG MENJADI GARIS TANGANMU AKAN SAMPAI PADAMU JUGA”.
SETELAH BERCERITA SEMACAM ITU YANG SEBETULNYA ADALAH NASEHAT UNTUK DIRIKUBELIAU BERKATA: BEGINILAH KEADAAN ORANG-ORANG AL-SIDDIQIYYIN. MEREKA SAMASEKALI TIDAK KELUAR DARI SUATU KEDUDUKAN YANG SUDAH DITENTUKAN ALLAH SAMPAIDIA SENDIRI YANG MENGELUARKAN MEREKA”. MENDENGAR URAIAN PANJANG LEBARSEMACAM ITU AKU TERSADAR DAN TIDAK BISA MENGUCAPKAN SEPATAH KATAPUN. DANALHAMDULILLAH ALLAH TELAH MENGHAPUS ANGAN KEBIMBANGAN YANG ADA DALAMHATIKU, SEPERTINYA AKU BARU SAJA MELEPAS PAKAIANKU. AKU PUN RELA TENANG DENGAN KEDUDUKAN YANG DIBERIKAN OLEH ALLAH”.
MASA KETIGA
MASA INI DIMULAI SEMENJAK KEPINDAHAN IBN ATHO’ DARI ISKANDARIAH KE KAIRO.DAN BERAKHIR DENGAN KEPINDAHANNYA KE HARIBAAN YANG MAHA ASIH PADA TAHUN 709H. MASA INI ADALAH MASA KEMATANGAN DAN KESEMPURNAAN IBNUATHOILLAH DALAMILMU FIQIH DAN ILMU TASAWWUF. IA MEMBEDAKAN ANTARA UZLAH DAN KHOLWAH. UZLAHMENURUTNYA ADALAH PEMUTUSAN (HUBUNGAN) MAKNAWI BUKAN HAKIKI, LAHIR DENGANMAKHLUK, YAITU DENGAN CARA SI SALIK (ORANG YANG UZLAH) SELALU MENGONTROLDIRINYA DAN MENJAGANYA DARI PERDAYA DUNIA. KETIKA SEORANG SUFI SUDAH MANTAPDENGAN UZLAH-NYA DAN NYAMAN DENGAN KESENDIRIANNYA IA MEMASUKI TAHAPANKHALWAH. DAN KHALWAH DIPAHAMI DENGAN SUATU CARA MENUJU RAHASIA TUHAN,KHOLWAH ADALAH PERENDAHAN DIRI DIHADAPAN ALLAH DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN DENGAN SELAIN ALLAH SWT.
MENURUT IBNU ATHOILLAH, RUANGAN YANG BAGUS UNTUK BER-KHALWAH ADALAH YANGTINGGINYA, SETINGGI ORANG YANG BERKHALWAT TERSEBUT. PANJANGNYA SEPANJANG IASUJUD. LUASNYA SELUAS TEMPAT DUDUKNYA. RUANGAN ITU TIDAK ADA LUBANG UNTUKMASUKNYA CAHAYA MATAHARI, JAUH DARI KERAMAIAN, PINTUNYA RAPAT, DAN TIDAK ADA DALAM RUMAH YANG BANYAK PENGHUNINYA.
IBNU ATHOILLAH SEPENINGGAL GURUNYA ABU AL-ABBAS AL-MURSI TAHUM 686 H,MENJADI PENGGANTINYA DALAM MENGEMBANGKAN TARIQAH SYADZILIAH. TUGAS INI IAEMBAN DI SAMPING TUGAS MENGAJAR DI KOTA ISKANDARIAH. MAKA KETIKA PINDAH KEKAIRO, IA BERTUGAS MENGAJAR DAN CERAMAH DI MASJID AL-AZHAR.IBNU HAJAR BERKATA: “IBNU ATHOILLAH BERCERAMAH DI AZHAR DENGAN TEMA YANGMENENANGKAN HATI DAN MEMADUKAN PERKATAN-PERKATAN ORANG KEBANYAKAN DENGANRIWAYAT-RIWAYAT DARI SALAFUS SOLEH, JUGA BERBAGAI MACAM ILMU. MAKA TIDAKHERAN KALAU PENGIKUTNYA BERJUBEL DAN BELIAU MENJADI SIMBOL KEBAIKAN”. HALSENADA DIUCAPKAN OLEH IBNU TAGRI BARADI : “IBNU ATHOILLAH ADALAH ORANGYANG SHOLEH, BERBICARA DI ATAS KURSI AZHAR, DAN DIHADIRI OLEH HADIRIN YANGBANYAK SEKALI. CERAMAHNYA SANGAT MENGENA DALAM HATI. DIA MEMPUNYAIPENGETAHUAN YANG DALAM AKAN PERKATAAN AHLI HAKEKAT DAN ORANG ORANG AHLITARIQAH”. TERMASUK TEMPAT MENGAJAR BELIAU ADALAH MADRASAH AL-MANSURIAH DIHAY AL-SHOGHOH. BELIAU MEMPUNYAI BANYAK ANAK DIDIK YANG MENJADI SEORANGAHLI FIQIH DAN TASAWWUF, SEPERTI IMAM TAQIYYUDDIN AL-SUBKI, AYAH TAJUDDIN AL-SUBKI, PENGARANG KITAB TOBAQOH AL-SYAFIIYYAH AL-KUBRO.
SEBAGAI SEOARANG SUFI YANG ALIM IBN ATHO’ MENINGGALKAN BANYAK KARANGANSEBANYAK 22 KITAB LEBIH. MULAI DARI SASTRA, TASAWUF, FIQH, NAHWU, MANTIQ, FALSAFAH SAMPAI KHITOBAH.
KAROMAH IBN ATHOILLAH
AL-MUNAWI DALAM KITABNYA AL-KAWAKIB AL-DURRIYYAH MENGATAKAN:SYAIKHKAMAL IBNU HUMAM KETIKA ZIARAH KE MAKAM WALI BESAR INI MEMBACA SURATHUD SAMPAI PADA AYAT YANG ARTINYA: “DIANTARA MEREKA ADA YANG CELAKA DANBAHAGIA…”. TIBA-TIBA TERDENGAR SUARA DARI DALAM LIANG KUBUR IBNATHOILLAHDENGAN KERAS: “WAHAI KAMAL TIDAK ADA DIANTARA KITA YANG CELAKA”.DEMI MENYAKSIKAN KAROMAH AGUNG SEPERTI INIIBNU HUMAM BERWASIAT SUPAYA DIMAKAMKAN DEKAT DENGAN IBNUATHOILLAH KETIKA MENINGGAL KELAK.
DI ANTARA KAROMAH PENGARANG KITAB AL-HIKAM ADALAH, SUATU KETIKA SALAH SATUMURID BELIAU BERANGKAT HAJI. DI SANA SI MURID ITU MELIHAT IBNATHOILLAHSEDANG THAWAF. DIA JUGA MELIHAT SANG GURU ADA DI BELAKANG MAQAMIBRAHIM, DI MASA DAN ARAFAH. KETIKA PULANG, DIA BERTANYA PADATEMAN-TEMANNYA APAKAH SANG GURU PERGI HAJI ATAU TIDAK. SI MURID LANGSUNGTERPERANJAT KETIAK MENDENGAR TEMAN-TEMANNYA MENJAWAB “TIDAK”. KURANG PUASDENGAN JAWABAN MEREKA, DIA MENGHADAP SANG GURU. KEMUDIAN PEMBIMBING SPIRITUAL INI BERTANYA : “SIAPA SAJA YANG KAMU TEMUI ?” LALU SI MURIDMENJAWAB : “TUANKU SAYA MELIHAT TUANKU DI SANA “. DENGAN TERSENYUM AL-ARIFBILLAH INI MENERANGKAN : “ORANG BESAR ITU BISA MEMENUHI DUNIA. SEANDAINYASAJA WALI QUTB DI PANGGIL DARI LIANG TANAH, DIA PASTI MENJAWABNYA.
IBN ATHO’ILLAH WAFAT
TAHUN 709 H ADALAH TAHUN KEMALANGAN DUNIA MAYA INI. KARENA TAHUN TERSEBUTWALI BESAR YANG TETAP ABADI NAMA DAN KEBAIKANNYA INI HARUS BERALIH KE ALAMBARZAH, LEBIH MENDEKAT PADA SANG PENCIPTA. NAMUN DEMIKIAN MADRASAHAL-MANSURIYYAH CUKUP BERUNTUNG KARENA DI SITULAH JASAD MULIANYA BERPISAHDENGAN SANG NYAWA. RIBUAN PELAYAT DARI KAIRO DAN SEKITARNYA MENGIRING KEKASIH ALLAH INI UNTUK DIMAKAMKAN DI PEMAKAMAN AL-QORROFAH AL-KUBRO.

Dakwah Nabi Muhammad SAW: Suatu Konsep Pendidikan




Oleh: Wendi Zarman (Dosen Unikom Bandung)
Dakwah Nabi Muhammad SAW pada dasarnya merupakan sebuah proses pendidikan di dalam masyarakat sebab upaya dakwah ini dilakukan untuk menghasilkan manusia yang baik. Proses pendidikan yang dilakukan Nabi SAW tersebut mengandung banyak hikmah dan pelajaran yang dapat dijadikan teladan bagi umat Islam dalam mendidik masyarakat. Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari dakwah Nabi Muhammad SAW :  pertama para guru atau dai hendaknya merupakan orang-orang yang terbaik akhlaqnya karena manusia pada umumnya lebih mudah bersimpati dengan orang-orang yang suka berbuat baik kepada orang lain. Kedua, keyakinan sebagai unsur paling penting dalam suatu proses pendidikan masyarakat karena dengan keyakinan yang kuat seseorang dapat bersabar terhadap berbagai kesulitan hidup. Ketiga, dakwah harus berlandaskan ilmu yang kuat karena keyakinan akan kuat jika berlandaskan pada hujjah yang kuat juga.

1.            Pendahuluan

Jika disimak para tokoh yang ditulis oleh Michael Hart di dalam karyanya mengenai tokoh-tokoh paling berpengaruh di dunia[1], maka dapat disimpulkan bahwa karya atau warisan ketokohan orang-orang berpengaruh itu pada umumnya berkisar pada dua hal. Pertama, karya-karya mereka berupa pikiran-pikiran besar yang mengubah masyarakat secara berarti, baik pada tingkat regional tertentu atau bahkan seluruh dunia. Kehebatan pikiran-pikiran besar ini terlihat ketika pikiran-pikiran itu menginspirasi dan mengilhami banyak orang dalam rentang waktu yang lama setelah tokoh-tokoh ini wafat. Bentuk pikiran-pikiran besar ini bisa seperti ajaran agama, filsafat, teori-teori sains, teori-teori sosial, serta berbagai karya seni dan sastra. Tokoh-tokoh yang masuk kelompok ini adalah Budha, Kong Hu Cu, Aristoteles, Isaac Newton Karl Marx, John Locke, Ludwig Van Beethoven, dan lain-lain.
Kedua, prestasi-prestasi nyata yang mengagumkan yang terwujud saat mereka hidup seperti daerah kekuasaan yang luas, suatu negara yang disegani, atau angkatan bersenjata yang kuat seperti diantaranya. Mereka yang termasuk kelompok ini diantaranya adalah Jengis Khan, Alexander Agung, Hitler, Napoleon Bonaparte, Mao Tse Tung, dan lain-lain. Walaupun sangat mungkin tokoh-tokoh ini juga memiliki pikiran-pikiran besar, namun orang-orang sesudah mereka lebih mengenang kebesaran mereka berdasarkan prestasi mereka yang bersifat fisik dibandingkan karya yang bersifat pemikiran.
Dari semua tokoh paling berpengaruh yang disebut Michael Hart dalam bukunya itu, Nabi Muhammad SAW merupakan tokoh paling berpengaruh yang memiliki keistimewaan tersendiri karena semua prestasi hebat para tokoh itu terkumpul di dalam diri beliau. Hanya dalam diri Nabi Muhammad SAW pikiran-pikiran besar diwujudkan sendiri dan mencapai keberhasilan besar pada masa hidup beliau. Beliau adalah satu-satunya pemimpin yang berhasil baik dalam urusan agama maupun urusan dunia. Tidak satupun tokoh yang disebut Michael Hart memiliki keistimewaan seperti ini. Atas alasan inilah mengapa Michael Hart menempatkan Nabi Muhammad SAW di peringkat pertama pemimpin paling berpengaruh di dunia.[2]
Sebenarnya jika dicermati lebih jauh terdapat kelebihan lain Nabi Muhammad SAW yang semakin menegaskan keistimewaan beliau atas tokoh-tokoh lain. Kelebihan itu adalah keberhasilan beliau menghasilkan insan-insan terbaik yang pernah muncul di pentas sejarah dalam jumlah besar. Pengertian terbaik di sini bukan semata-mata dalam arti kecerdasan akal (intelektual), kepemimpinan, keberanian, kekayaan, atau keberhasilan di medan perang, tetapi lebih dalam pengertian akhlaq yang merupakan wujud dari keshalihan seorang hamba Allah.  Selain itu, beliau juga tidak sekedar menghasilkan beberapa gelintir tokoh ternama tetapi sebuah masyarakat yang beradab yang melanjutkan prestasi besar beliau. Ketika Alexander Agung, Hitler, Napoleon Bonaparte, Julius Caesar, atau Lenin wafat kita tidak melihat generasi penerus para tokoh berpengaruh ini melanjutkan prestasi-prestasi besar mereka sebagaimana para sahabat melanjutkan prestasi Nabi Muhammad SAW.
Sejarah mencatat bahwa setelah beliau wafat perkembangan wilayah Islam tidaklah berhenti malah berkembang semakin cepat karena terdapat semangat dakwah yang kuat dalam diri para sahabat untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Seiring dengan berkembangnya daerah kekuasaan Islam, para sahabat ini menyebar ke seluruh penjuru mengislamkan dan memakmurkan daerah-daerah yang telah ditaklukkan para tentara Islam. Dalam rentang sekitar satu abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Islam telah tumbuh menjadi kekuatan yang tidak tertandingi oleh peradaban lain yang kekuasaannya menjangkau tiga benua (Asia, Afrika, Eropa) yang merentang dari Andalusia (Spanyol) hingga tanah Hindustan (India).
Ini adalah buah dari pendidikan Nabi Muhammad SAW yang mampu melakukan perubahan mendasar suatu masyarakat dalam waktu sangat singkat. Tidak berlebihan jika kita menyebutnya sebagai sebuah revolusi sosial. Semenjak merebaknya dakwah Nabi Muhammad SAW, Jazirah Arab berubah secara signifikan yaitu dari sebuah negeri yang kurang dikenal dan kalah pamor dari tetangganya Persia dan Rumawi kemudian muncul sebagai bangsa yang tercerahkan lalu secara mengagumkan bangkit mengambil alih kepemimpinan dunia dan tampil sebagai masyarakat berperadaban tinggi. Dengan demikian tidaklah berlebihan untuk menyebut Nabi Muhammad SAW adalah seorang pendidik yang paling istimewa yang pernah hadir dalam lintasan sejarah manusia. Keberhasilan ini membangkitkan sebuah pertanyaan : pendidikan seperti apakah yang mampu membangkitkan kekuatan dari sebuah masyarakat yang terpuruk dalam kegelapan kemudian bangkit menjadi peradaban yang penuh cahaya dalam waktu yang singkat. 

2.            Lebih Mudah Mengatasi Kebodohan Daripada Kesesatan  

Ketika Nabi Muhammad SAW diutus untuk berdakwah di jazirah Arab, beliau mewarisi suatu masyarakat bodoh (jahiliah), yaitu mereka tidak bisa mengenali mana kebaikan dan mana keburukan. Bangsa Arab kala itu adalah bangsa yang kesenangannya adalah bermabuk-mabukan di setiap waktu; gemar berjudi yang terkadang taruhannya adalah istri mereka sendiri; menipu dan merampok sudah menjadi kelaziman; anak-anak perempuan dikuburkan; istri seorang laki-laki dapat diwariskan kepada anaknya sendiri; fanatik berlebihan terhadap suku sehingga perselisihan sepele dapat menimbulkan perang antar-suku; laki-laki dapat memiliki istri berapa saja yang mereka mau.[3] 
Ramadhan al-Buthy di dalam kitab sirahnya menyebutkan bahwa memang masyarakat Arab pada masa itu berada dalam alam kebodohan, namun mereka tidak dalam keadaan tersesat. Kebejatan moral mereka lebih pada karena menuruti hawa nafsu yang tidak dibimbing oleh ilmu yang benar dan bukan berangkat dari keyakinan yang mapan. Masyarakat Arab pada masa itu ibarat sebuah bahan baku yang belum diolah sehingga lebih mudah untuk membinanya. Itu sebabnya bangsa Arab dipandang memiliki potensi baik sebagai tempat yang baik bagi berkembangnya Islam. Keadaan ini berbeda jika dibandingkan dengan dua negara besar saat itu, yaitu kerajaan Persia dan Byzantium yang lebih tepat disebut sebagai masyarakat yang tersesat. Di Persia berkembang ajaran Zoroaster penyembah api, sedangkan di Romawi telah berkembang ajaran Nasrani yang telah menyimpang dari ajaran tauhid Nabi Isa ‘alaihis salam. Kedua negara yang mengapit jazirah Arab pada masa itu juga mengalami kebejatan moral yang parah seperti juga yang terjadi pada bangsa Arab namun kerusakan ini dipelihara dan dibina suatu oleh pemikiran dan keyakinan yang telah mapan. Mereka terjebak dalam lubang kerusakan dengan penuh kesadaran, perencanaan dan pemikiran.[4]
Menurut Ramadhan al-Buthy, hal ini merupakan salah satu hikmah diturunkannya Islam di jazirah Arab dan bukan di tempat lain. Allah telah menyiapkan jazirah Arab sebagai tempat yang baik untuk bersemainya agama Islam.[5] Hal ini memberi pelajaran bahwa membina atau mendidik suatu masyarakat yang bodoh lebih mudah daripada yang tersesat. Hal ini karena masyarakat bodoh yang belum disusupi oleh pemikiran yang menyesatkan cenderung lebih terbuka ketika menerima pengetahuan baru. Sebaliknya masyarakat yang terlanjur sesat cenderung mempunyai sikap penolakan yang lebih besar ketika berhadapan dengan pengetahuan baru karena keyakinan mereka telah terbentuk secara kuat.  


3.            Kepribadian Mulia sebagai Modal Dakwah

Sebelum menyampaikan dakwah, Nabi Muhammad SAW memerlukan modal kepercayaan yang kuat dari masyarakat. Hal ini sangat penting agar seruan-seruan beliau mau didengar masyarakat. Apalagi seruan-seruan beliau merupakan sesuatu yang sangat bertentangan dengan tradisi dan keyakinan masyarakat masa itu. Menyerukan penyembahan hanya kepada Allah, Tuhan yang Esa, kepada masyarakat yang menyembah banyak tuhan atau berhala merupakan suatu seruan yang mengejutkan. Demikian juga pemberitaan beliau tentang adanya hari akhir kepada masyarakat yang hanya mengenal kehidupan dunia dan tidak punya visi kehidupan akhirat yang kekal tentulah merupakan suatu gagasan yang mengganggu ketenangan batin mereka.
Seruan-seruan Nabi SAW yang seringkali berlawanan dengan arus umum pandangan-alam (worldview) masyarakat Mekah masa itu tentu saja mengundang penolakan dari mereka. Ini adalah sesuatu yang lumrah terjadi di mana-mana. Paling tidak ada dua bentuk penolakan (resistensi) masyarakat ketika mereka berhadapan dengan seruan-seruan Nabi Muhammad SAW. Yang pertama adalah menertawakan dan mengolok-olok beliau seperti menyebut beliau sebagai orang gila[6] dan menuduh ucapan yang beliau katakan sebagai sihir.[7] Bila cara ini gagal, mereka mengambil langkah kedua yaitu berusaha menghentikan dakwah beliau secara lebih terencana, baik dengan cara halus maupun keras. Cara halus yang dimaksud misalnya dilakukan dengan cara melakukan perundingan dengan menawarkan harta dan kedudukan. Tawaran seperti ini praktis diabaikan oleh beliau. Sedangkan cara keras adalah dengan melakukan ancaman fisik terhadap beliau.
Meskipun terjadi penolakan, ternyata hal itu tidak mampu menghentikan dakwah Rasulullah SAW karena penolakan itu pada umumnya datang dari segelintir tokoh Mekah yang merasa kewibawaan mereka tersaingi oleh kharisma Nabi Muhammad SAW. Sebagian besar masyarakat sebenarnya bersimpati dengan dakwah Nabi Muhammad SAW, namun simpati ini tidak ditunjukkan secara terbuka karena hal itu akan menempatkan mereka dalam suatu konflik terbuka dengan tokoh papan atas Mekah. Masyarakat tahu pasti bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang terkenal paling baik kepribadiannya dan ini saja sudah cukup untuk membuat mereka bersimpati, terlepas dari apapun yang beliau serukan kepada masyarakat.
Sekurangnya, ada tiga kekuatan kepribadian Nabi Muhammad SAW. yang menjadi modal dasar beliau berdakwah.Pertama, kejujuran. Jauh sebelum beliau diangkat sebagai Rasul orang-orang Mekah sudah mengenal Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang paling terpercaya ucapannya sehingga tidak heran orang menggelarinya dengan “al-Amin.” Jika seseorang telah digelari “al-Amin” maka tidak ada lagi alasan untuk tidak mempercayai perkataannya. Besarnya kepercayaan orang kepada beliau dapat dilihat ketika beliau hendak hijrah ke Madinah. Pada saat itu beliau harus menugaskan Ali bin Abi Thalib ra. untuk mengembalikan sejumlah barang orang lain yang dititipkan kepada beliau.[8] Padahal saat itu semua pengikut Nabi Muhammad SAW, kecuali Abu Bakar dan Ali, sudah berangkat meninggalkan Mekah menuju Yatsrib (Madinah). Berarti, kemungkinan besar barang-barang titipan itu merupakan milik orang non-Islam. Hal ini menunjukkan betapa besarnya kepercayaan orang-orang Mekah kepada Nabi Muhammad SAW meskipun mereka bukan pengikut beliau.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW mulai berdakwah secara terbuka beliau memanggil semua suku Quraisy agar mereka berkumpul di atas bukit Shafa, lalu ia berkata, “Bagaimana jika kukabarkan bahwa di lembah ini akan ada sepasukan kuda yang mengepung kalian, apakah kalian percaya?” Ini bukan pertanyaan yang sulit untuk dijawab karena orang-orang Mekah tahu persis kejujuran Muhammad SAW sehingga tanpa ragu mereka menjawab, “Percaya! Kami tidak pernah punya pengalaman dengan engkau kecuali kejujuran.”[9]Hal ini menunjukkan besarnya kepercayaan masyarakat terhadap semua ucapan beliau.
Kedua, kebersahajaan. Beliau adalah orang yang sederhana baik sebelum maupun sesudah berhasil menguasai jazirah Arab. Beliau juga tidak pernah terlibat dalam perbuatan yang sifatnya hura-hura dan bermewah-mewahan, termasuk juga setelah beliau menikahi  Khadijah ra. yang masa itu merupakan salah seorang peniaga yang berhasil. Bahkan di masa mudanya sekalipun, Nabi Muhammad SAW belum pernah ikut-ikutan dalam segala bentuk acara pesta dan hura-hura. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW pernah dua kali menginginkan hadir dalam suatu pesta. Namun niat itu gagal kedua-duanya, dan sejak itu beliau tidak pernah menginginkan terlibat dalam pesta semacam itu.[10]  Bagaimanapun juga, termasuk di dalam masyarakat yang serba-boleh (permisif) dan suka bersenang-senang (hedonis) sekalipun, orang-orang yang terjaga dari kegiatan hura-hura akan selalu mendapat penghormatan yang tinggi dari masyarakat. Di samping itu, kebersahajaan akan memutus kemungkinan tuduhan orang-orang bahwa dakwah Nabi SAW dilakukan demi mendapat harta dan kedudukan. 
Ketiga, kedermawanan. Nabi Muhammad SAW merupakan orang yang sangat dermawan sehingga riwayat tentang kedemawanan ini sangat banyak dan dengan mudah bisa kita temukan di dalam berbagai kitab sirah atau hadits. Sejak sebelum diutus sebagai Rasul, Nabi Muhammad SAW sudah terkenal sebagai orang paling dermawan meskipun beliau dalam keadaan sempit. Beliau  selalu memberi jika diminta dan hal itu dilakukannya dengan senang hati. Beliau juga lebih mementingkan orang lain daripada dirinya. Bahkan ketika beliau diberi sesuatu, beliau akan membalasnya dengan yang lebih baik. Kalau beliau berhutang, beliau selalu mengembalikan lebih banyak daripada yang dipinjamnya. Kedermawanan ini dilakukan baik sebelum maupun sesudah beliau diangkat sebagai Rasul Allah SWT.[11]
Tiga kepribadian mulia ini – masih banyak kepribadian mulia Nabi SAW yang lainnya – ini merupakan beberapa kunci keberhasilan Nabi Muhammad SAW. Pada dasarnya, orang-orang yang memiliki sifat lurus (cenderung kepada kebenaran) dan akal yang sehat tidak mungkin dapat menolak seruan Nabi Muhammad SAW. Dalam bentuk pertanyaan yang sederhana : bagaimana mungkin bisa menuduh dusta ucapan dari seseorang yang terkenal paling jujur? Bagaimana mungkin menolak ajakan orang yang demikian bersahaja sehingga semua yang dilakukannya tidak pernah diniatkan untuk memperoleh harta atau kedudukan?; bagaimana bisa menentang ajakan seseorang yang paling banyak berbuat baik dan dermawan kepada orang orang lain? Dengan ketiga modal kepribadian mulia ini saja orang tidak akan bisa menolak seruan Nabi Muhammad SAW, kecuali memang di dalam dirinya terdapat dorongan untuk menolak kebenaran.

4.            Dakwah sebagai Proses Pendidikan

Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah untuk membentuk menghasilkan orang-orang baik – Ini berlaku di mana saja, baik di masyarakat muslim maupun bukan-muslim. Namun demikian, pengertian baik di sini tidaklah sama antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Konsep baik dan buruk ini sangat sangat terkait dengan pandangan-alam (worldview) masyarakat bersangkutan. Sebagai contoh, di dalam masyarakat Barat yang sekular dan hanya memiliki visi keduniawian, manusia yang baik adalah manusia berguna bagi negaranya serta taat kepada hukum yang berlaku. Dalam hal ini Islam memiliki padangan yang berbeda mengenai pengertian orang baik. Di dalam Islam tujuan pendidikan selalu bersifat religius karena manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Allah. Al-Qur’an menjelaskan :
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”[12]

Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan orang baik adalah orang yang menyadari kedudukan dirinya sebagai hamba Allah yang berkewajiban untuk beribadah kepada-Nya dan menaati segala aturan-Nya. Meskipun Islam pun mengakui bahwa setiap orang juga seyogyanya berguna bagi negara dan taat pada hukum, namun hal itu tidak boleh terlepas dari konteks ketaatannya kepada Allah.
            Jika dakwah diartikan sebagai seruan kepada manusia agar beriman kepada Allah dan pada apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, berarti tujuan yang hendak dicapai dakwah adalah sama dengan tujuan pendidikan. Dengan pengertian ini berarti dakwah pada dasarnya merupakan suatu bentuk proses pendidikan juga

KONSEP TASAWUF SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI



A. Pendahuluan

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah tokoh sufi yang mempunyai pengikut dan pengaruh besar di dunia Islam. Ia dikenal sebagai penguasa para wali (Shulthan al-Auliya’) dan pemuka para sufi (Imam al-Ashfiya’). Jamaah sufi yang dinisbatkan kepadanya (Qadiriyah) merupakan tarekat yang paling tua usianya dan paling luas daerah penyebarannya. Ia seorang tokoh spiritual muslim yang benar-benar menghidupkan ruh Islam yang sejati, sehingga ia mendapat predikat muhyi ad-din (penghidup agama). Karena itulah Ibnu Taimiyyah pernah memuji manhaj akidahnya al-Jailani.

Namun, dalam sejarah dan perkembangan masyarakat, memilih kehidupan bersufi, seringkali disalah pahami dan diremehkan. Secara teologis, ajaran-ajaran tasawuf oleh beberapa kalangan, dipandang sebagai ajaran yang tidak berasal dari Islam, sehingga penganutnya dapat dianggap musyrik, pengikut bid’ah, takhayul dan khurafat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tasawuf adalah penyebab kemunduran sains Islam. Oleh karena banyak kalangan yang memandang tasawuf dan tarekat sebagai ajaran yang tidak berasal dari Islam, melalui makalah sederhana ini, penulis akan mengulas ajaran Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tentang konsep akidah dan tasawufnya.

B. Biografi Singkat Abdul Qadir al-Jailani

Nama lengkap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Shalih Musa Jankidous bin Musa ats-Tsani bin Abdullah al-Mahdi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan bin Ali r.a bin Abu Thalib. Ibunya Syarifah Fatimah binti Sayid Abdillah ash-Shuma’i az-Zahid bin Abi Jamaluddin Muhammad bin Sayid Thahir bin Sayid Abi al-Atha’ Abdullah bin Sayid Kamaluddin Isa bin Alaudin Muhammad al-Jawad bin Sayid Ali Ridha bin Sayid Musa al-Khadim bin Sayid Ja’far ash-Shadiq bin Sayid Muhammad al-Baqir bin Sayid Zainal Abidin bin Sayid al-Husain bin Sayid Ali bin Abi Thalib r.a. Untuk efektifitas penulisan, penulis menyebutnya dengan al-Jailani.

Al-Jailani adalah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal, seorang pendiri tarekat Qadiriyah yang dilahirkan di Naif, Jailan pada 1 Ramadhan 470 H./ 1077 M. Sejak kecil ia sudah ditinggal ayahnya. Kealimannya sudah tampak di masa bayinya. Ia tidak mau menyusu di siang hari pada bulan Ramadhan. Ia dididik dalam lingkungan besar lagi mulia, sesuai dengan nasab dan keturunannya. Ia digembleng dalam didikan kaum sufi yang hidup serba sederhana dan ikhlas. Kesibukan al-Jailani dalam upaya ruhaniah membuatnya asyik dan hamper lupa akan kewajibannya untuk berumah tangga. Pada akhirnya, di usianya yang ke-51 beliau menikah dan mempunyai empat orang istri. Dari keempat istrinya itu, al-Jailani empat puluh sembilan anak, dua puluh putra dan selebihnya puteri.

Beliau menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti Fikih, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Khilaf, Ilmu Ushul, Ilmu Nahwu, Ilmu Tajwid, Ilmu Sharaf, Ilmu Arudh, Ilmu Balaghah, Ilmu Mantiq dan Tasawuf. Beliau juga belajar kepada para ulama besar di zamannya, seperti Abu al-Wafa’ bin Aqil, Muhammad bin Hasan al-Baqilani, Abu al-Khatahab, al-Kalawazani dan Abu al-Husain Muhammad bin al-Qadhi Abu Ya’la, Abu Zakariya at-Tibrizi, Abu al-Khair Hamad bin Muslim ad-Dibbas hingga ia mendapatkan ijazah dan kedudukan tinggi dari al-Qadhi Abu Said al-Mukharami. Bahkan al-Jailani juga belajar kepada Nabi Khidir a.s. selama tiga tahun. Satu tahun pertama beliau makan dan minum, tahun kedua hanya makan saja, dan di tahun ketiga beliau tidak makan dan tidak minum, hingga dinyatakan lulus belajarnya.

Setelah al-Jailani menamatkan pendidikannya di Baghdad, ia mulai melancarkan dakwahnya. Tepatnya ketika beliau sudah berumur 50 tahun. Abu Said al-Mukhrami menyerahkan pembangunan madrasah kepadanya. Kian hari, murid-muridnya bertambah banyak. Karena itulah, madrasahnya diperluas dan pembangunannya selesai pada tahun 528 H. Di madrasah ini juga, al-Jailani berjuang dengan sungguh-sungguh dalam mendirikan tarekat yang dinisbatkan kepadanya, tarekat Qadiriyyah. Berkaitan dengan tarekat ini, Ibnu Taimiyyah berkata: “Tarekat beliau adalah tarekat yang dibenarkan oleh Syara’.”

Al-Jailani hidup di zaman kegairahan intelektual, tidak hanya di Baghdad saja, bahkan di seantero dunia Islam. Banyak ulama-ulama besar yang menuangkan pemikirannya dalam berbagai karya yang karyanya masih dapat dinikmati hingga hari ini. Di antara ulama yang hidup semasa dengan al-Jailani adalah, al-imam Ibnu al-Jauzy, Ibnu Qudamah, Syaikh Abu Umar ibn Shalah, al-Ghazali, Umar Khayam, al-Qusyairi, Az-Zuzani, dan lain sebagainya.

Sebagai seorang tokoh terkemuka, al-Jailani juga memiliki karya-karya sebagai penopang ajarannya itu. Di antara karya yang terkenal adalah; al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq, kitab ini memaparkan secara ringkas fikih mazhab Imam Hanbali dan ajaran-ajarannya tentang akidah dan tasawuf; al-Fath ar-Rabbany, kitab ini berisi kumpulan nasihat bagi para murid dan guru sufi dan semua kalangan yang tertarik dengan jalan penyucian diri. Sesuai dengan judulnya, kitab ini hendak membawa pembacanya pada keuntungan dan manfaat spiritual yang sangat besar; dan Futuh al-Ghayb yang berisi kumpulan nasihat yang lebih lengkap dan mendalam dari kumpulan sebelumnya.

C. Pemurnian Tauhid dan Konsep Akidahnya

Kondisi sosial politik pada masa al-Jailani ditandai dengan kekacauan pemerintah dan kerusakan umat. Di mana-mana muncul kemunafikan, khurafat, dan bid’ah. Karena itulah, al-Jailani sangat lantang menyeru pada pemurnian tauhid dan menganggap remeh selain Allah. Ia pun secara tegas mengkritik para pembesar kerajaan, termasuk orang-orang gila harta. Dalam hal ini, ia berkata:

"Kamu bersandar kepada dirimu dan semua makhluk, pada harta kekayaanmu, penguasa negerimu, setiap orang yang kamu sandari adalah rusak. Dan setiap orang yang kamu lihat dalam keadaan bahagia dan sengsara juga akan rusak. Wahai hati yang mati! Wahai orang yang musyrik! Wahai para penyembah berhala, penyembah kehidupan dan harta, pengabdi para sultan kerajaan! Ketahuilah, mereka itu ditutupi oleh Allah Azza wa Jalla. Barang siapa menganggap bahwa bahagia dan nestapa itu dari selain Allah, maka mereka bukan hamba-Nya".

Dalam konsepsinya pemurnian tauhid dan penafian syirik, al-Jailani mempunyai pandangan yang mendalam. Menurutnya kesyirikan tidak hanya penyembahan pada berhala saja, tetapi juga pemujaan nafsu jasmani dan menyamakan segala sesuatu yang ada di dunia dan akhirat dengan Allah. Sebab selain Allah bukan Tuhan, dan menenggelamkan diri pada sesuatu selain Allah berarti menyekutukan Tuhan. Hidup bermewah-mewahan dan menyibukan diri dengan kehidupan dunia karena beranggapan bahwa kebahagiaan akan didapat di dalamnya, berarti juga menyekutukan Tuhan. Al-Jailani juga menyebutkan bahwa syirik orang khawas (kebalikan awa,) adalah menyekutukan kehendaknya dengan kehendak Allah, yaitu lalai dan terbawa suasana dunia.

Dalam melancarkan dakwah Islamnya, al-Jainlani lebih menitik beratkan kepada Iman seseorang untuk selalu mentauhidkan Allah. Karena Iman merupakan tolak ukur setiap individu yang mengaku sebagai seorang muslim. Oleh karena itu, iman memerlukan pengakuan secara konkrit dari seorang muslim atas ketentuan yang berlaku menuru syariat Allah. Sebab baginya Iman adalah ucapan dengan lisan, keyakinan dalam hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Iman akan menjadi kuat dengan ilmu dan akan menjadi lemah dengan kebodohan.

Langkah al-Jailani dalam menyeru umat sangat tepat. Sebab, di saat kekacauan umat sangat memuncak, maka gerakan tauhid dan kembali ke jalan Allah betul-betul diserukan dengan lantang. Sejalan dengan strategi dakwah al-Jailani, Isma’il Raji al-Faruqi, cendekiawan muslim kontemporer, mengatakan bahwa esensi peradaban Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, tindakan yang menegaskan bahwa Allah itu Esa, Pencipta yang Mutlak dan Transenden, Penguasa segala yang ada. Berpegang teguh pada prinsip tauhid merupakan fondasi dari seluruh kesalehan, religiositas (keberagamaan), dan seluruh kebaikan. Dengan demikian sangat tepat apa yang diupayakan oleh al-Jailani.

Al-Jailani adalah seorang sunni yang dalam banyak hal berbeda pandangan dengan aliran-aliran pemikiran yang berkembang di semasa hidupnya. Secara keseluruhan, metode yang dipakai oleh al-Jailani dalam menetapkan akidahnya adalah menggunakan Manhaj Turatsi, yang berafilisasi kepada manhaj ulama salaf shalih. Dalam permasalahan “usaha manusia” (af’al al-‘ibad) misalnya, ia berbeda dengan pandangan Jabbariyah yang fatalis dan Qadariyah. Menurutnya, perbuatan hamba itu adalah ciptaan Allah swt, demikian pula usaha mereka yang baik maupun yang buruk, yang benar atau yang salah, yang taat atau yang maksiat. Namun bukan berarti bahwa Allah swt memerintahkan maksiat, tapi Allah swt telah menentukan dan menetapkannya serta menjadikannya sesuai dengan kehendaknya. Hanya saja sesuatu yang berkaitan dengan perintah dan larangan yang ditujukan kepadanya adalah usaha manusia (al-kasb). Jika balasan itu jatuh kepada manusia, jelaslah bahwa perbuatan itu karena usaha mereka.
Lain halnya dengan Jabbariyah, mereka berpendaat bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pandangan al-Jailani juga berlawanan dengan kaum Qadariyah. Mereka menyatakan bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.

Jadi jelaslah di sini bahwa al-Jailani tidak menghendaki manusia pasrah pada nasib dan takdir Allah sebagaimana kaum Jabbariyah. Juga tidak seperti Qadariyah yang menafikan peranan Allah dalam setiap perbuatan manusia. Oleh karena itu, al-Jailani menengahi di antara dua kutup pemikiran yang ekstrim. Manusia, oleh al-Jailani dianjurkan untuk selalu berusaha dan berdoa. Dan jika takdir sudah tiba, manusia harus menerima (tawakal), sebab Allah lebih mengetahui segala hikmahnya.

Mengenai sifat-sifat Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an dan sunnah, al-Jailani mengimani sepenuhnya tanpa melakukan takwil. Tidak seperti apa yang dilakukan oleh kaum Asy’ariyah dan Maturidiyah serta Mu’tazilah. Baginya, apa yang diberitakan oleh al-Qur’an tentang sifat-sifat Allah itulah yang benar, seperti Dia lah Yang menahan dan memberi, Yang membuat tertawa dan gembira, Yang murka dan Yang marah, Yang mengasihi dan mengampuni. Dia memiliki tangan dan Yang bersemayam (istiwa) di atas Arsy.

D. Konsep Tasawuf al-Jailani

Tasawuf sering disebut sebagai misitsisme dalam Islam (Islamic Mysticim) oleh orientalis. Terdapat berbagai kemungkinan mengenai asal-usul istilah tasawuf ini. (1) Ada yang mengatakan berasal dari kata Suffah, nama suatu ruang dekat masjid Madinah, tempat Nabi Muhammad saw memberikan pelajaran kepada para sahabatnya seperti Abu Darda, Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari dan lain sebagainya. (2) Ada juga yang mengatakan berasal dari kata suf yang berarti bulu domba, yang umumnya menjadi bahan pakaian orang-orang sufi dari Siria. (3) Lainnya mengatakan, ia berasal dari kata shaafiy yang berarti suci, artinya seorang sufi adalah orang yang disucikan melalui latihan-latihan ibadah. (4) Selain itu ada yang beranggapan dari kata sophos, kata Yunani yang berarti hikmah.

Adapun menurut al-Jailani, tasawuf diambil dari kata “ash-shafa” yang bermakna suci. Hati disucikan dengan makanan yang halal, dengan berma’rifat secara sungguh-sungguh dan benar kepada Allah. Seorang sufi yang benar di dalam tasawufnya akan mensucikan hatinya dari segala sesuatu selain Allah. Ia tidak menjelekkan baju, menguningkan wajah, dan lain-lain dengan maksud menghinakan diri pada dunia. Akan tetapi, seorang sufi akan datang dengan kejujurannya dalam mengharap Allah, dengan zuhudnya terhadap dunia, dengan mengeluarkan makhluk dari dalam hatinya, dan dengan mengosongkan diri dari segala sesuatu selain dari Allah.

Pandangan al-Jailani di atas nampak bahwa ia juga memberikan kritik terhadap praktik-praktik sufi yang berlebihan pada masanya. Menurutnya, seorang sufi adalah mereka yang selalu berusaha menyucikan zahir batinnya dengan tidak meninggalkan ajaran yang tertuang dalam kitab suci serta sunnah Rasulullah. Sedang tasawuf adalah senantiasa berperilaku benar dan jujur dalam kebajikan, dan berperilaku baik kepada semua makhluk Allah. Sehingga dalam hal ini, bagi al-Jailani, perilaku sufi tidak terpisah dari konteks hubungan individu dengan Allah dan juga hubungannya dengan manusia yang harus seimbang.

Lebih jauh, di dalam kitab sir al-asrar, al-Jailani menguraikan makna sufi dan tasawufnya tersebut bahwa inti dari tasawuf, sesuai dari huruf-hurufnya. Huruf pertama adalah “ta” yang berarti taubah. Pintu taubat adalah selalu merasa khawatir tentang kedudukan dirinya di sisi Allah. Pengertian taubat di sini meliputi dua macam taubat yakni taubat lahir dan taubat batin. Yang dimaksud dengan taubat lahir adalah menyesuaikan perbuatan dan perkataannya dengan ketaatan kepada Allah dan Nabi-Nya. Sedangkan taubat batin sama artinya dengan tashfiyah al-qalb, penyucian hati dari sifat-sifat yang tercela, untuk kemudian diganti dengan sifat-sifat yang terpuji. Inti dari taubat adalah mengerahkan hati sepenuhnya untuk sampai kepada tujuan utamanya, yakni Allah al-Haq.

Huruf kedua adalah “shad” yang berarti “shafa” yang berarti bersih dan bening. Makna shafa’ disini juga meliputi dua macam shafa’, yakni shafa’ al-qalb dan shafa as-sirr. Maksud dari shafa’ al-qalb adalah membersihkan hati dari sifat-sifat manusiawi yang kotor dan kenikmatan dunia, seperti banyak makan dan minum, banyak tidur, banyak bicara yang tidak berguna, cinta harta, dan lain lain. Untuk membersihkan hati dari yang demikian itu, caranya adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah dengan suara jahr (keras) sampai pada tingkatan takut. Sesuai dengan firman Allah:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (سورة الأنفال: ٢)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal, (QS. al-Anfaal: 2)

Sedangkan maksud dari shafa as-sirr adalah mencintai Allah dan menjauhi segala sesuatu selain Allah swt dengan cara senantiasa melantunkan asma’ Allah melalui lisannya secara sirr. Apabila keduanya telah dilaksanakan dengan sempurna maka, sempurnalah maqam huruf ‘shad’ ini.

Huruf ketiga adalah ‘waw’ yang bermakna wilayah. Yaitu keadaan suci dan hening yang ada pada jiwa kekasih Allah. Keadaan ini tergantung pada kesucian seseorang yang tercermin dalam QS. Yunus ayat 62 dan 64:

أَلآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونَ (سورة يونس: ٦٢)
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus:62)

لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلأَخِرَةِ لاَتَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (سورة يونس: ٦٤)
Artinya: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus :64)

Orang yang sampai pada tahapan ini, mendapatkan kesadaran dan cinta sepenuhnya dari Allah, sehingga akhlaknya adalah akhlakNya. Dan segala tindak tanduknya bersesuaian dengan kehendakNya. Sebagaimana dalam hadits qudsi, Allah berkata: “…Jika Aku sudah mencintainya, Aku menjadi penglihatan, pendengaran, tangan, dan penolong baginya…”
Huruf yang terakhir adalah ‘fa’ yang melambangkan fana’ di dalam kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan segala macam sifat-sifat manusia dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah. Terlepas diri dari makhluk dan kedirianya serta sesuai dengan kehendak-Nya. Jika sudah demikian, maka ke-fana’-an manusia akan abadi (baqa’) bersama Tuhannya dan keridhaan-Nya.

Pengertian fana’ al-Jailani ini, jika disandingkan dengan pandangan Ibrahim Madkur ketika mengomentari istilah fana’-nya para sufi falsafi, sangat identik dengan pandangan mereka. Menurut Ibrahim Madkur, pada dasarnya teori fana yang didengungkan oleh para sufi akhirnya hendak menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam sekitar, terhapusnya seorang hamba dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang hamba terhadap wujud dirinya dan kekal di dalam wujud Tuhannya setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa. Untuk menjelaskan keabadian seorang hamba, al-Jailani lebih hati-hati agar tidak disalah pahami. Menurutnya, keabadian manusia, disebabkan amal shalihnya, sebagaimana yang disinggung oleh Allah dalam firmanNya:

مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فِلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَكْرُ أُوْلَئِكَ هُوَ يَبُورُ (سورة فاطر: ١٠)
Artinya: “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya.Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (QS. Fathir:10)

Meskipun al-Jailani tidak mensistematisasikan tasawufnya dalam bentuk maqamat-maqamat atau ahwal-ahwal secara berurutan seperti kebanyakan sufi, namun ketika melihat dari ulasan al-Jailani tentang pengertian tasawuf secara harfiah, telah mengarahkan perjalanan ruhani seseorang dalam untuk melewati tahap-tahap tertentu, mulai dari taubat dengan macam-macamnya, pembersihan hati dengan macam-macamnya, yang berakhir pada tingkatan fana’.

Jika dikatakan bahwa memilih hidup sufi berarti memilih hidup dengan menjauhi dunia, maka sekali-kali al-Jailani tidak pernah mempunyai sikap hidup mengasingkan diri –dalam arti membenci dunia- meski ia menolak untuk menikmati keinginan-keinginannya yang menenggelamkan dan mengasyikkan hati, sehingga membuat lupa kepada penciptanya. Mengenai permasalahan ini al-Jailani berkata:

“Kuasai dunia, jangan dikuasai olehnya. Milikilah dunia, jangan dimiliki dunia. Setirlah dunia, jangan diperbudak olehnya. Ceraikanlah dunia, jangan kamu diceraikan olehnya. Jangan kamu dibinasakan olehnya. Tasarufkanlah dunia, karena sabda Nabi: Sebaik-baik harta adalah harta hamba yang saleh.”

Al-Jailani mengibaratkan dunia bagai sungai besar yang deras airnya, setiap harinya bertambah. Dan perumpamaan nafsu hewani manusia juga tidak ubahnya seperti sungai itu, yang tamak akan segala kenikmatan duniawi. Ia memandang kehidupan yang sejati adalah kehidupan di kemudian hari, yaitu akhirat. Sesuai dengan sabda Nabi: “Tidak ada kehidupan selain kehidupan akhirat nanti.” Dan, “Dunia adalah penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir.”

Dunia dipandang olehnya sebagai proses kontinuitas kehidupan akhirat yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Sufisme dalam pandangan al-Jailani merupakan sufisme yang progresif, aktif dan positif, tidak meninggalkan gelanggang dunia sebagai mazra’ah al-akhirah. Ia memandang dunia dalam keseimbangan akhirat. Sebagaimana firmanNya:

وَابْتَغِ فِيمَآءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ ولاَتَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن َمَآأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَتَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (سورة القصص: ٧٧)
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. 28:77)

Konsepsi sufistik al-Jailani adalah konsepsi sufistik yang murni, dilandasi oleh ketentuan syari’at Ilahi. Ia melarang seseorang mencebur dalam dunia sufi sebelum orang itu matang dan kuat syariatnya. Sebab, hubungan syari’at di antara thariqah, ma’rifah, dan haqiqah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. “Syari’at laksana batang pohon, thariqah adalah cabang-cabangnya, ma’rifah adalah daunnya sedangkan haqiqah adalah buahnya” Jadi untuk memetik buahnya seorang sufi harus melalui tahap pengamalan syari’at dengan istiqamah.

E. Penutup

Dari ulasan singkat di atas, penulis berkesimpulan bahwa konsepsi tasawuf al-Jailani adalah konsepsi tasawuf yang dilandasi al-Qur’an dan Hadits, dan berorientasi pada alur teologis ahlussunnah wal jama’ah. Untuk ikut serta menceburkan diri dalam dunia tasawuf, seseorang harus menjalankan apa-apa yang telah disyari’atkan Allah melalui Nabi-Nya, Muhammad saw dengan sungguh-sungguh dan konsisten.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar, 1903, Ghutbah an-Nadzir fi Tarjamah asy-Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Calcuta: Baptist Mission Press

Al-Barzanjy, Ja’far bin Hasan, tt, Lujain ad-Daniy fi Manaqib al-Quthb ar-Rabbany asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani, Semarang: al-’Alawiyah

Al-Faruqi, Ism’ail Raji, 1988, Tauhid, Bandung: Pustaka

Al-Jailani Abdul Qadir, 1996, al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq, Vol. I, Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-‘Arab

......................., 1996, al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq, Vol. II, Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-‘Arab

......................., tt, al-Fath ar-Rabbany wa al-Faidh ar-Rahmany, Kairo: Dar ar-Rayyan li at-Turats

………………, tt, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar, Kairo: Mathba’ah al-Mishriyah

Al-Maghriby, Ali ‘Abd al-Fatah, 1995, al-Firaq al-kalamiyah al-Islamiyah: Madkhal wa Dirasah, al-Qahirah: Maktabah Wahbah

Al-Qahthaniy, Sa’id, 1997, asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailaniy wa Araa’uhu al-I’tiqadiyyah wa ash-Shufiyah, Madinah: Jami’ah Umu al-Qurra

Al-Qusyairi, Abu al-Qasim, 1989, Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, Qahirah: Dar asy-Sya’b

Arif, Syamsuddin, 2006, Manipulasi dalam Kajian tentang Sufisme, dalam Islamia, Vol III No. 1

......................., 2008, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani

Az-Zunaidy, Abdurrahman, 1998, Manahij al-Bahts fi al-‘Aqidah al-Islamiyah fi al-‘Ashr al-Hadhir, Riyadh: Dar Asbiliya

Hasyim, Yahya, 2007, Tajdid al-Manhaj fi al-‘Aqidah al-Islamiyah, Qahirah: Dar al-Afaaq al-‘Arabiyah

Madkur, Ibrahim, 1976, Fi Falsafah Islamiyah Manhaj wa Tathbiquhu, Kairo: Dar al-Ma’arif

Mujib, M. Abdul, dkk. 2009, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali: Mudah memahami dan Menjalankan, Jakarta: Hikmah, 2009

Rahman, Fazlur, 2003 Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 2003

Solikhin, Muhammad, 2009, 17 Jalan menggapai Mahkota Sufi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Yogyakarta: Mutiara Media

Zaidan, Yusuf Muhammad Thaha, tt, ‘Abdul Qadir al-Jailany Baz Allah al-Asyhab, Beirut: Dar al-Jayl

Zainuddin, M., 2011, Karomah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Yogyakarta: Pustaka Pesantren

Zarkasy, Amal Fathullah, 2006, ‘Ilmu Kalam: Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah wa Qadhayaha al-Kalamiyah, Ponorogo: Jami’ah Darussalam

Al-Ghazali


Al-GhazaliImam Al-Ghazali lebih dikenali sebagai ulama tasawuf dan akidah. Oleh sebab itu sumbangannya terhadap bidang falsafah dan ilmu pengetahuan lain tidak boleh dinafikan. Al-Ghazali merupakan seorang ahli sufi yang bergelar "hujjatui Islam".

Abu Hamid Ibnu Muhammad al-Tusi al-Ghazali itulah tokoh yang dilahirkan di Tus, Pars! pada tahun 450 Hijrah. Sejak kecil lagi, beliau telah menunjukkan keupayaan yang luar biasa dengan menguasai berbagai-bagai cabang ilmu pengetahuan. Beliau bukan sahaja produktif dari segi menghasilkan buku dan karya tetapi merupakan seorang ahli fikir Islam yang terulung.

Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan begitu mendalam sehingga mendorongnya menggembara dan merantau dari sebuah tempat ke tempat yang lain untuk berguru dengan ulama-ulama yang hidup pada zamannya. Sewaktu berada di Baghdad, Al-Ghazali telah dilantik sebagai Mahaguru Universiti Baghdad.

Walaupun telah bergelar mahaguru tetapi beliau masih merasakan kekurangan pada ilmu pengetahuan yang dimiliki. Lantaran itu, beliau meninggalkan jawatannya dan beralih ke bidang tasawuf dengan merantau ke Makkah sambil berguru dengan ahli-ahli sufi yang terkenal disana

Selain belajar dan mengkaji,. Al-Ghazali juga banyak menulis. Dianggarkan beliau telah menulis 300 buah buku mencakupi pelbagai bidang ilmu pengetahuan seperti mantik, akhlak, tafsir, ulumul Quran, falsafah, dan sebagainya. Walau bagaimanapun, sebahagian besar hasil tulisannya telah hangus dibbakar oleh tentera Moghul yan menyerang kota Baghdad.

Antara kitab yang musnah termasuk: 40 Jilid Tafsir, Sirrul Alamain (Rahsia Dua Dunia), dan al Madhnuuna bihi ala Qhairiha (Ilmu Yang Harus Disembunyikan Dari Orang'orang Yang Bukan Ahlinya,). Cuma 84 buah buku tulisan beliau yang berjaya diselamatkan seperti Al Munqiz Mm al Dhalal (Penyelamat Kesesatan), Tahafut al Falsafah (Penghancuran Falsafah), Mizanul Amal (Timbangan Amal), Ihya Ulumuddin (Penghidupan Pengetahuan), Mahkun Nazar fMengenai Ilmu Logik), Miyarul Ilmu, dan Maqsadil Falsafah (Tujuan Falsafah).

Meskipun Al-Ghazali banyak menulis mengenai falsafah tetapi beliau tidak dianggap sebagai seorang ahli falsafah. Malah kebanyakan penulis menggolongkan Al-Ghazali sebagai seorang yang memerangi dan bersikap antifalsafah. Pandangan ini berdasarkan tulisan Al-Ghazali dalam buku Tahafut Falsafah yang banyak mengkritik dan mengecam falsafah. Bahkan dalam buku tersebut, Al-Ghazali menyatakan tujuan menyusun buku itu adalah untuk menghancurkan falsafah dan menggugat keyakinan orang terhadap falsafah. Namun begitu, pandangan bahawa Al-Ghazali seorang yang antifalsafah tidak dipersetujui oleh beberapa orang sarjana.

Biarpun tidak ada seorang pun yang boleh menafikan kecaman Al-Ghazali terhadap falsafah seperti yang ditulis dalam buku Tahafut Falsafah itu tetapi perlu diingat- kan bahawa sikap skeptis (ragu) dan kritikannya terhadap falsafah merupakan sebahagian proses ilmu falsafah itu sendiri. Hal ini kerana tugas ahli falsafah bukan semata-mata untuk mencari kebenaran dan penyelesaian terhadap sesuatu masalah tetapi juga mencabar serta membantah penyelesaian yang dikemukakan terhadap permasalahan tersebut.

Kalau menyelusuri perjalanan hidup Al-Ghazali maka akan didapati bahawa beliau merupakan ilmuwan Islam pertama yang mendalami falsafah dan kemudian mengambil sikap mengkritiknya. Walaupun Al-Ghazali kurang senang dengan falsafah dan ahli filsafat tetapi dalam buku Maqasid al Falasifah., beliau telah mengemukakan kaedah falsafah untuk menghuraikan persoalan yang berkaitan dengan logik, ketuhanan, dan fizikal.

Menurut Al-Ghazali, falsafah boleh dibahagikan kepada enam ilmu pengetahuan ialah matematik, logik, fizik, metafizik, politik, dan etika. Bidang-bidang ini kadangkala selari dengan , agama dan kadangkala pula sangat berlawanan dengan agama.

Namun begitu, agama Islam tidak menghalang umatnya daripada mempelajari ilmu pengetahuan tersebut sekiranya mendatangkan kebaikan serta tidak menimbulkan kemudaratannya. Umpamanya agama tidak melarang ilmu matematik kerana ilmu itu merupakan hasil pembuktian fikiran yang tidak boleh dinafikan selepas ia difahami.

Cuma bagi Al-Ghazali, ilmu tersebut boleh menimbulkan beberapa persoalan yang berat. Antaranya ialah ilmu matematik terlalu mementingkan logik sehingga boleh menyebabkan timbul persoalan yang berkaitan dengan ketuhanan khususnya mengenai perkara yang tidak dapat dihuraikan oleh akal fikiran. Menurut Al-Ghazali tidak salah berpegang kepada logik tetapi yang menjadi masalahnya ialah golongan falsafah yang terlalu berpegang kepada logik, hendaklah membuktikan fakta termasuk perkara yang berhubung dengan ketuhanan atau metafizik.

Sebab itulah beliau menentang golongan ahli falsafah Islam yang cuba mengungkap kejadian alam dan persoalan ketuhanan menggunakan pemikiran daripada ahli falsafah Yunani. Beberapa orang ahli falsafah Islam seperti Ibnu Sina dan al-Farabi jelas terpengaruh akan idea pemikiran falsafah Aristotle. Maka tidak hairanlah ada antara pandangan ahli falsafah itu bertentangan dengan ajaran Islam yang boleh menyebabkan kesesatan dan syirik.

Terdapat tiga pemikiran falsafah metafizik yang menurut Al-Ghazali amat bertentangan dengan Islam iaitu qadimnya alam ini, tidak mengetahui Tuhan terhadap perkara dan peristiwa yang kecil, dan pengingkaran terhadap kebangkitan jasad atau jasmani.

Al-Ghazali tidak menolak penggunaan akal dalam pembicaraan falsafah dan penghasilan ilmu pengetahuan yang lain. Sebaliknya beliau berpendapatan bahawa ilmu kalam dan penyelidikan menggunakan fikiran boleh menambahkan keyakinan dan menyalakan apt keimanan pada hati orang bukan Islam terhadap kebenaran ajaran Islam. Jadi, perkembangan sesuatu ilmu pengetahuan bukan sahaja bersandarkan kepuasan akal fikiran tetapi juga perlu mengambil kira aspek perasaan dan hati nurani. Al-Ghazali menganjurkan supaya umat Islam mencari kebenaran dengan menjadikan al-Quran sebagai sumber yang utama bukannya melalui proses pemikiran dan akal semata-mata. Jadi, apa yang cuba dilakukan oleh Al-Ghazali ialah memaparkan kesalahan dan kepalsuan bidang pengetahuan yang bercanggah dengan agama serta bertentangan dengan pendirian umat Islam. Sekali gus menunjukkan bahawa Al-Ghazali sebenarnya merupakan seorang ahli falssafah Islam yang mencari kebenaran dengan berpandukan al-Quran dan hadis tidak sebagaimana pemikiran serta permainan logik yang lazim digunakan ahli falsafah Yunani. Perkara yang ditentang oleh Al-Ghazali bukan ahli falsafah dan pemikiran yang dibawakan oleh mereka tetapi kesalahan, kesilapan, dan kesesatan yang dilakukan oleh golongan tersebut. Pada Al-Ghazali, tunjang kepada pemikiran falsafah ialah al-Quran itu sendiri.